Beranda | Berita Utama | White Crime | Lingkungan | EkBis | Cyber Crime | Peradilan | Pidana | Perdata | Politik | Legislatif | Eksekutif | Selebriti | Pemilu | Nusantara | Internasional | ResKrim | Gaya Hidup | Opini Hukum | Profil | Editorial | Index

Pidana    
 
Kasus BLBI Djoko Tjandra
Sahroni Minta Penegak Hukum Cek Kondisi Djoko Tjandra
2020-07-07 21:23:17

Ilustrasi. Djoko Tjandra.(Foto: Istimewa)
JAKARTA, Berita HUKUM - Komisi III DPR RI mengunjungi Kantor Pusat Kejaksaan Agung RI, Jakarta Selatan pada Senin (6/7/2020), dalam pertemuan yang digelar secara tertutup tersebut salah satu poin pembahasan mengenai update kasus pencarian terpidana kasus cessie Bank Bali Djoko Tjandra. Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni mengungkapkan ada oknum yang tengah bermain untuk membela persembunyian Djoko Tjandra di Indonesia. Dia meminta penegak hukum untuk mengecek secara teliti kondisi Djoko Tjandra.

Ada oknum yang sengaja telah memperbolehkan yang bersangkutan masuk ke Indonesia. Namun demikian, Sahroni tidak menjelaskan lebih lanjut oknum yang diduga terlibat dalam persembunyian Djoko Tjandra di Indonesia. Dia hanya bilang ada oknum yang sengaja telah memperbolehkan yang bersangkutan masuk ke Indonesia.

"Oknum baik di dalam maupun di luar. Saya tidak bisa sebut spesifik. Ada oknum di dalamnya yang menyelamatkan Djoko Tjandra masuk. Dan per hari ini dia tidak datang ke sidang katanya sakit. Saya minta penegakan hukum untuk dicek ulang apakah benar sakit atau hanya mengulur waktu," jelasnya dalam keterangan persnya di Jakarta, Senin (6/7).

Komisi III mendatangi Kejaksaan Agung untuk membahas sejumlah isu hukum yang tengah bergulir di masyarakat. Adapun Anggota Komisi III yang berkunjung ke Kantor Kejaksaan di antaranya, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond Junaidi Mahesa, Anggota Komisi III Habiburokhman dan sejumlah anggota komisi III lainnya.

Sementara itu Desmond mengatakan, soal berhasil masuknya Djoko Tjandra ke Indonesia memang bukan menjadi ranah kejaksaan, tapi hal itu menjadi ranah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Namun, penanganan kasusnya menjadi wewenang lembaga tersebut. "Bukan, mengenai masuknya Djoko Tjandra itu bukan wilayah Jaksa Agung, tetapi wilayah Menkumham," kata Desmond.

Diketahui, Djoko Tjandra merupakan buron kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, yang berhasil masuk ke Indonesia dan melakukan Peninjauan Kembali (PK) atas perkaranya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Sementara, beredar di media bahwa Djoko Tjandra, yang kini memiliki KTP elektronik atau e-KTP dengan nama Joko Soegiarto Tjandra, membuat geger. Buron sejak 2009 itu ternyata dengan mudah membuat e-KTP sehari jadi.

Diketahui sebelumnya Djoko Tjandra datang sendiri ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) pada 8 Juni 2020 untuk mengajukan peninjauan kembali (PK) atas perkara yang membelitnya. Untuk mengajukan PK, Djoko Tjandra memang harus datang secara fisik serta melampirkan identitas e-KTP.

"Setelah ditelusuri, dia telah melampirkan copy KTP tertanggal 8 Juni 2020, artinya KTP tersebut baru dicetak pada tanggal 8 Juni 2020," ujar Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman dalam keterangannya, Senin (6/7).

Boyamin menduga Djoko Tjandra melakukan rekam data pada tanggal itu dan e-KTP miliknya langsung dicetak pada saat yang sama. Di sisi lain, Boyamin menyebut seharusnya Djoko Tjandra tidak bisa mendapatkan e-KTP karena data dirinya nonaktif.

"Joko Soegiarto Tjandra karena di luar negeri hingga Mei 2020 dan tidak melakukan rekam data KTP elektronik maka sesuai ketentuan datanya nonaktif sejak 31 Desember 2018," ujar Boyamin.

"Semestinya Joko Soegiarto Tjandra tidak bisa mencetak KTP dengan identitas WNI dikarenakan telah menjadi warga negara lain Papua Nugini dalam bentuk memiliki paspor Negara Papua Nugini," imbuhnya.

Dia juga merujuk adanya data diri yang berbeda, yaitu tahun lahir Djoko Tjandra pada e-KTP baru tahun 1951, sedangkan di dokumen lama pada putusan PK tahun 2009 tertulis 1950. Dari situ, menurut Boyamin, pengajuan PK saat ini seharusnya dihentikan prosesnya oleh PN Jaksel.

"Atas dasar KTP WNI tidak sah dan perbedaan tahun lahir KTP baru 1951 dengan dokumen lama di Pengadilan tahun lahir 1950 maka semestinya Pengadilan Negeri Jakarta Selatan semestinya menghentikan proses persidangan PK yang diajukan Joko Tjandra," kata Boyamin.(eko/es/DPR/detik/bh/sya)


 
Berita Terkait Kasus BLBI Djoko Tjandra
 
 
Untitled Document

 Beranda | Berita Utama | White Crime | Lingkungan | EkBis | Cyber Crime | Peradilan | Pidana | Perdata | Pledoi | Politik | Legislatif | Eksekutif | Selebriti | Pemilu | Nusantara | Internasional | ResKrim | Gaya Hidup | Opini Hukum | Profil | Editorial | Index


  Berita Terkini >>
 
Mengapa Dulu Saya Bela Jokowi Lalu Mengkritisi?
5 Oknum Anggota Polri Ditangkap di Depok, Diduga Konsumsi Sabu
Mardani: Hak Angket Pemilu 2024 Bakal Bikin Rezim Tak Bisa Tidur
Hasto Ungkap Pertimbangan PDIP untuk Ajukan Hak Angket
Beredar 'Bocoran' Putusan Pilpres di Medsos, MK: Bukan dari Kami
Pengemudi Mobil Plat TNI Palsu Cekcok dengan Pengendara Lain Jadi Tersangka Pasal 263 KUHP
Untitled Document

  Berita Utama >
   
Mengapa Dulu Saya Bela Jokowi Lalu Mengkritisi?
Mudik Lebaran 2024, Korlantas: 429 Orang Meninggal Akibat Kecelakaan
Kapan Idul Fitri 2024? Muhammadiyah Tetapkan 1 Syawal 10 April, Ini Versi NU dan Pemerintah
Refly Harun: 6 Ahli yang Disodorkan Pihak Terkait di MK Rontok Semua
PKB soal AHY Sebut Hancur di Koalisi Anies: Salah Analisa, Kaget Masuk Kabinet
Sampaikan Suara yang Tak Sanggup Disuarakan, Luluk Hamidah Dukung Hak Angket Pemilu
Untitled Document

Beranda | Tentang Kami | Hubungi | Redaksi | Partners | Info Iklan | Disclaimer

Copyright2011 @ BeritaHUKUM.com
[ View Desktop Version ]